alam waktu singkat, 5.000 eksemplar buku berjudul Mencari Supriyadi
terjual. Buku karya Dr FX Baskara Tulus Wardaya SJ, terbitan Galang
Press Yogyakarta ini, memang menyulut kontroversi. Sampai-sampai Pemkot
Blitar dan Kepolisian turun tangan untuk membuktikan, siapa sebenarnya
tokoh yang dipaparkan peneliti sejarah di Program Pasca Sarjana
Universitas Sanata Dharma ini.
Adalah Andaryoko Wisnuprabu (89) tokoh sentral dalam buku itu yang
mengaku sebagai tokoh PETA bernama Supriyadi. Oleh Romo Baskara,
kesaksian pembantu utama Bung Karno itu, digambarkan sebagai rekaman
sejarah pemberontakan rakyat Indonesia kepada penjajah waktu itu, dan
perjalanan pengabdian seorang anak bangsa kepada negaranya. Buku itu
sama sekali tidak memuat kontroversi ataupun mencari pembenaran atas
pengakuan Andaryoko.
"Posisi saya, sebagai se- orang peneliti sejarah. Saya merasa narasi
tentang sejarah Indonesia didominasi oleh narasi kekuasaan. Cerita itu
disampaikan untuk melegitimasi kekuasaan, sebagai konsekuensinya,
narasi sejarah itu menjadi mono narasi. Saya merasa dalam situasi
seperti itu kita membutuhkan narasi dari masyarakat, khususnya pelaku
sejarah, atau narasi plural, karena realita itu multidimensional.
Andaryoko ini adalah pelaku sejarah minimal dalam segi pengetahuan. Dan
hanya kebetulan, tokoh ini menyatakan diri sebagai Supriyadi. Jadi
fokus saya adalah mewawancarai tokoh sejarah," papar Baskara.
Baginya, yang paling penting adalah narasi dan keruntutan peristiwa yang klop dengan paparan sebelumnya.
"Kalau ada yang meragukan, itu perkembangan yang bagus. Karena wacana
ini akan terus bergulir. Masyarakat bisa lebih kritis," katanya.
Ihwal pertemuannya dengan Andaryoko, bermula dari sebuah acara budaya di Semarang.
Muncullah tokoh budaya bernama Andaryoko, yang menyinggung banyak hal,
termasuk perjalanan sejarah bangsa dan ketokohan Supriyadi. "Lantas
tokoh ini dipertemukan dengan saya," ujar Romo Baskara.
Bertemu Sukardjo Wilardjito
Kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta ini menjelaskan, Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi,
tidak bisa dipahami semata-mata sebagai sosok pahlawan yang sudah meng-
hilang sekian puluh tahun, kemudian muncul lagi. Dari interaksi dengan
Andaryoko, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda.
Bersambung ke halaman 7
Menurutnya, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi,
biasanya memiliki beberapa ciri. Di antaranya, selalu dikaitkan dengan
mistis, hanya bertutur dari segi ego.
Tetapi dalam diri Andaryoko, tingkat rasional dan spiritual cukup
tinggi. Bahkan ketika dipertemukan dengan saksi sejarah peristiwa 11
Maret 1966 di Istana Bogor, Letda Inf Sukardjo Wilardjito, sosok itu
mengenali Andaryoko sebagai "Mas Pri".
"Saya sengaja membawa Andaryoko bertemu Sukardjo Wilardjito, 31 Mei
lalu. Sukardjo yang pernah ditahan selama 14 tahun tanpa proses
pengadilan itu ternyata masih ingat dua sosok di sisi Bung Karno,
Tukimin pembantunya, dan Supriyadi yang sering disapa 'Sup' oleh Bung
Karno. Wilardjito sempat berucap, 'Ternyata Mas Pri!'," kutip Romo
Baskara.
Nama Andaryoko dan statusnya sebagai pembantu Bung Karno-lah yang telah
menyelamatkan Supriyadi. Sebab nama itu masih terus menjadi incaran
Pemerintah Jepang.
Tanya jawab dengan Andaryoko juga direkam dalam bentuk VCD yang
disertakan dalam buku. Dari tanya jawab itu juga terlihat timbul
tenggelamnya nama Supriyadi dan Andaryoko. Juga terlihat penguasaan
bahasa Belanda maupun Jepang Andaryoko. Misalnya, saat Nasution dipecat
dari jabatan KSAD tapi lalu menjadi KSAP, 17 Oktober 1952, Andaryoko
menjawab, "Itu jabatan lebih tinggi. Tapi di situ dia tidak punya bolo (pasukan). Bahasa Belandanya, naar boven te schroneven, diangkat, tapi lalu disekrup. Ini bahasa komando."
Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya dibuat lebih
tua tiga tahun. Sehingga jika dirunut sampai tahun 1945, terasa wajar
jika dia adalah pelaku pemberontakan.
Saat melarikan diri dari tentara Jepang, Andaryoko hanya membawa satu
baju dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Dia kemudian berhasil
menemui Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur 56, setelah sempat
mampir ke Menteng 31, yang menjadi markas PETA.
Pada kesempatan lain, Andaryoko pun menceritakan bagaimana proses
perpindahan Presiden Soekarno ke Yogyakarta. Waktu itu, jelas Romo
Baskara, tempat tinggal Presiden dikawal ketat tentara Belanda. Namun,
rombongan mampu menipu tentara Belanda.
Disinggung bahwa pengakuan Andaryoko ini memicu reaksi dari keluarga
Supriyadi di Blitar, Romo Baskara menegaskan, memang tidak ada
hubungannya. "Jadi kalau ada wacana tes DNA, ya tidak akan ada
gunanya," tegasnya.
Ia pun mempertanyakan, mengapa Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan
kematian Supriyadi. Bahkan dalam buku itu disinggung, bahwa Tim UGM
yang dipimpin T Jacob pernah meneliti makam Supriyadi di Blitar, dan
tak menemukan kerangka manusia.
Dikenali Soepardjo Roestam
Di pihak lain, Andaryoko sang tokoh yang kini tinggal di Jalan Mahesa,
Pedurungan, Semarang, mengaku, selama ini merahasiakan identitasnya
dari masyarakat, termasuk keluarganya. "Saya bahkan tidak pernah cerita
kepada anak saya, kalau saya ini Supriyadi," ujar pria sepuh yang masih
tampak segar ini, saat ditemui pekan lalu.
Dia mengaku memiliki bukti-bukti bahwa dia adalah Supriyadi, tokoh PETA
yang dinyatakan hilang secara misterius. Dia juga memiliki banyak foto
semasa masih muda, yang jika dicermati, ada gurat kemiripan dengan
wajah Supriyadi yang banyak kita kenal lewat buku sejarah.
Andaryoko
menegaskan bahwa satu-satunya orang yang mengenali dirinya sebagai
Supriyadi adalah almarhum Soepardjo Roestam, mantan Gubernur Jateng dan
Mendagri, yang sama-sama pejuang PETA.
Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi, sontak menyulut
reaksi keluarga Supriyadi di Blitar. "Bohong jika kakak kami masih
hidup. Sebab dia telah dieksekusi Jepang tanpa ada persidangan," ujar
RK Suroto Darmadi, adik tiri Supriyadi, saat ditemui di kediamannya,
Jalan Supriyadi 46, Kota Blitar. Kabar eksekusi tersebut didapat pihak
keluarga dari teman-teman Supriyadi yang ditangkap oleh Jepang.
Keluarga besar Supriyadi di Blitar siap bertemu Andaryoko untuk
mengecek kebenaran pengakuannya. Menurut Suroto, siapa saja bisa
berkata tentang sejarah dan perjalanan hidup Supriyadi, karena banyak
literatur serta dokumen yang bisa dibaca. "Tapi jika masalah keluarga,
yang bisa mengetahui hanya Supriyadi beserta kami pihak keluarga,"
tantang Suroto.
Terlepas dari semua kontroversi tersebut, bagi Romo Baskara, polemik
yang muncul pasca penerbitan buku 'Mencari Supriyadi' justru dipandang
sebagai hal yang positif oleh biarawan Katolik ini. "Buku ini adalah
awal dari sebuah narasi sejarah yang berbeda dari sebelumnya. Saya
berharap akan ada narasi lainnya," pungkasnya. [152/142/070]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar