Seperti sosok Andaryoko Wisnuprabu, buku Mencari Supriyadi:
Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno menyita perhatian masyarakat. Apa
sesungguhnya motif penyusunan buku yang ditulis hanya dalam waktu 2,5
bulan itu?
SEMUA bermula dari pertemuan
di Rumah Makan Semarang, Jalan . Sore itu, Senin 14 April, panitia
pementasan Kethoprak Putri China menemui sejumlah pengurus Yayasan
Sobokarti. Selain silaturahmi, anggota panitia juga bermaksud ngangsu
kawruh.
Anton Wahyu K, seorang panitia, kebetulan datang terlambat. Sampai
di tempat pertemuan, seseorang langsung menyambut dengan seloroh:
“Pak Anton tahu nggak pahlawan PETA Supriyadi?”
Lelaki yang juga manajer sebuah toko buku ternama di Semarang itu
menjawab dengan ringan: “Ya tahu dong, itu kan pahlawan yang
memberontak terhadap Jepang, dan sampai sekarang menghilang.”
“Orangnya ada di sini lo,” tukas orang itu sembari
melirik ke arah seorang tua yang duduk di antara mereka. Sementara yang
dilirik hanya tersenyum.
Anton semula tak terlampau menanggapi seloroh itu. Ia menganggapnya
sebagai guyonan pencair suasana belaka. Setelah itu pertemuan dilanjut
dengan sesorah sesepuh Sobokarti yang tak lain adalah lelaki bersenyum
simpul itu. Alih-alih bicara soal kesenian tradisional di Semarang, ia
justru bercerita banyak tentang sejarah perjuangan bangsa. Anton
terkesima dengan paparan lelaki yang belakangan ia ketahui bernama
Andaryoko Wisnuprabu itu.
Andaryoko bercerita tentang pemberontakan PETA dan peristiwa di
seputar proklamasi dengan detail luar biasa. Demikian detail ia merasa
si pencerita seolah turut terlibat di dalamnya. “Mau tidak mau,
saya kembali teringat dengan seloroh seseorang tadi. Benarkah ia
Supriyadi?” papar Anton, di kantornya, Jumat (15/8).
Setelah pertemuan yang mengesankan itu, ia tertarik untuk mengenal
lebih dekat Andaryoko. Anton pun menyempatkan diri menyambangi rumahnya
di Jalan Mahesa Raya, Pedurungan Tengah, Semarang. Di sana, lelaki 89
tahun itu menunjukkan foto-foto lama semasa muda.
Demi mendengar cerita dan melihat foto-foto itu, intuisi Anton
mengatakan, Andaryoko punya banyak kemiripan dengan Supriyadi. Tak
berhenti di situ, ia yang merasa terpikat menawarkan Andaryoko untuk
membukukan paparannya mengenai sejarah Indonesia.
Andaryoko setuju dan Anton pun segera mengontak Baskara T Wardaya
SJ, dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kepada
Baskara, Anton menyampaikan temuannya, dan menginginkan ia menulis
penuturan Andaryoko.
Baskara dipilih karena ia doktor yang mengkhususkan diri pada kajian
sejarah kontemporer, utamanya peristiwa pascakemerdekaan. Sebagai
peneliti, ia telah menelorkan sejumlah karya di seputar masa itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Anton juga mengontak Julius
Felicianus, Direktur Galang Press. Gayung bersambut, Galang bersedia
menerbitkan hasil wawancara dengan Andaryoko.
Supersingkat
Kenapa Anton berpayah-payah melakukan itu semua? Sebagai manajer
sebuah toko buku, tidakkah ikhtiarnya itu mengundang syak wasangka?
“Betul, dalam hal ini saya tidak punya kepentingan apa-apa. Saya
hanya berpikir informasi sejarah dari Eyang Andaryoko itu sampai ke
masyarakat. Kalau kemudian dari sisi penjualan buku ini laku keras, itu
bukan tujuan awal,” katanya.
Tanggal 29 April, Baskara dan Andaryoko dipertemukan dalam acara
bedah buku di Vina House, Jl Diponegoro. Mereka yang sama-sama menjadi
pembicara saling mengenal. Serupa dengan Anton, Baskara pun terpikat.
Sejak itu ia langsung melakukan proses wawancara.
Wawancara dilakukan beberapa kali, baik di Semarang, Yogyakarta, maupun Blitar.
Beda dari buku teks sejarah, buku yang kemudian diberi judul Mencari
Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno itu dikerjakan dalam
waktu supersingkat. Dari proses wawancara hingga naik cetak hanya butuh
waktu 2,5 bulan. Untuk mengejar momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI
ke-63?
Julius Felicianus tak sepenuhnya menolak sinyalemen itu.
Namun ia mengatakan, meski disusun dalam waktu singkat, buku itu
dikerjakan secara serius. Selama proses penyusunan, berkali-kali
dilakukan perbaikan.
“Hasil wawancara ditranskrip menjadi draf. Draf itu dibagikan
kepada sejumlah orang untuk dikritisi. Tidak hanya sekali, tapi sampai
tiga kali. Dan orang yang diminta mengkritisi juga bukan orang
sembarangan, ada Asvi Warman Adam, Hilmar Farid, dan George Junus
Aditjondro. Masih dalam proses ini, Andaryoko juga sempat dipertemukan
dengan bekas pengawal Bung Karno, Soekardjo Wilardjito,” kata
Julius.
Baskara pun sebagai sejarawan profesional, tak mau mengorbankan
reputasinya. Meski dibatasi waktu, doktor Ilmu Sejarah lulusan
Marquette University, Milwaukee, Winconsin, AS, itu mengaku tetap
menggunakan metodologi sejarah dalam penulisan buku itu.
Baskara melakukan kritik sumber melalui dua langkah. Pertama,
menggunakan catatan kaki sebagai koreksi atas paparan yang disampaikan
Andaryoko. Itu dilakukan agar pembaca tidak menelan mentah-mentah data
dari sejarah lisan tersebut. Kedua melibatkan sejumlah pakar untuk
mengkritisi narasi Andaryoko, antara lain peneliti sejarah dari LIPI
Asvi Warman Adam, dan pakar metodologi penelitian kualitatif George
Junus Aditjondro.
“Dengan demikian, apa yang tersaji dalam buku ini bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan satu hal yang penting, sejarah
itu bisa ditulis secara multinaratif, dari perspektif yang
berbeda,” papar Baskara.
Paling Heboh
Akhir Juli, buku setebal 230 halaman yang dikerjakan secara
superkilat itu naik cetak. Tanggal 9 Agustus dilanjutkan dengan
peluncuran di Toko Buku Gramedia Pandanaran. Segera setelah
dipublikasikan media massa, buku yang memuat pengakuan Andaryoko
Wisnuprabu sebagai Supriyadi itu pun menjadi perbincangan masyarakat.
Pro kontra yang muncul semakin menaikkan popularitas buku itu.
Masyarakat yang semula tak terlampau meminati sejarah tiba-tiba
terpantik, dan buku Mencari Supriyadi pun laku keras. Di Toko Buku
Gramedia Pandanaran misalnya, hanya dalam hitungan enam hari sudah
terjual sekitar 100 eksemplar.
Melihat respons pasar yang positif, penerbit Galang Press sudah
menyiapkan cetakan kedua. Sama seperti cetakan pertama, cetakan kedua
direncanakan sebanyak 5.500 eksemplar.
“Dibanding buku-buku terbitan Galang Press yang lain, Mencari
Supriyadi yang paling heboh, bahkan dibanding Jakarta Undercover-nya
Moamar Emka sekalipun. Kalau Jakarta Under Cover baru heboh selang
sebulan, Mencari Supriyadi segera setelah diluncurkan,” ungkap
Julius.(Rukardi-77)
Sumber: suaramerdeka.com
----------------------------------------------------------Tambahan komentar :
Widdi Usada on
Agustus 20th, 2008 02:45
Saya tidak meragukan keilmiahan Dr. Baskara. Dari judul memang Dr.
Baskara tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Bapak Andaryoko adalah
Tokoh Supriyadi. Atas desakan uji DNA dari masyarakat saya kira dan
saya mohon Bapak Andaryoko tidak berkeberatan, toh tujuan beliau sangat
mulia untuk memberikan bobot sejarah nasional kita. Memang perlu juga
dipertemukan Bapak Andaryoko dengan Bapak-2 sanak saudara dan ahli
waris Tokoh Supriyadi.
ali imron on
Agustus 21st, 2008 10:06
keluarga supriyadi blitar tidak punya file apapun dan hanya memiliki
lukisan dan difoto (yang katanya supriyadi, gambar tsb diterima dari
tri sutrisno, dan saat tri sutrisno ditanya dari mana lukisan supriyadi
itu, jawab tri sutrisno dari cendana/harto…lha ini jadi keathuan lagi
boroknya suharto mungkin dia merekayasa supriyadi dengan mengangkat
supriyadi jadi pahlawan, padahal kematian supriyadi tahun 1945 dan bung
karno tidak mengumumkan supriyadi menjadi pahlawan karena beliau tahu
kalau supriyadi itu masih hidup dan diangkat menjadi menteri TKR. Saat
dipertemukan dengan wilarjito (saksi sejarah yang melihat penodongan 4
jendral saat minta tandatangan bung karno untuk supersemar) wilarjito
sering bertemu andaryoko di istana bogor dan wilarjito tahu persis
andaryoko ada di sekeliling sukarno. Tapi bedanya teman2 memanggil
andaryoko hanya bung karno saja yang memanggil sup…sup saat ditanyakan
koq memanggilnya sup bukan andaryoko…bung karno langsung menjawab ya
dia supriyadi blitar. Makanya para komentator sebaiknya baca buku dulu
atau kalau bisa bertatap muka dan diskusi dengan andaryoko pasti akan
terkesima…karena andaryoko tahu detail saat pemberontakan peta hingga
tragedi supersemar. andaryoko juga tahu persis ada jaksa mati
misterius/ditembak saat mengurus kasus keterlibatan suharto dalam
penyelundupan gula, beras dan mobil dinas di kodam diponegoro. wah
banyak yang off the record yang seharusnya tidak ditulis di buku
“MENCARI SUPRIYADI” terbitan galangpress yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar