[ Kamis, 14 Agustus 2008 ]
Kian Yakin setelah Fasih Berbahasa Belanda dan Jepang
Andaryoko Wisnuprabu, warga Semarang, bikin geger setelah
mengaku sebagai Supriyadi, pahlawan nasional yang lebih dari 60 tahun
menghilang. Apa kesan Dr Baskara T. Wardaya, penulis buku Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, tentang sosok orang yang memberi inspirasi bukunya itu?
ERWAN WIDYARTO, Jogja
''Dia orang yang jujur dan baik,'' kata Baskara T. Wardaya saat ditanya kesannya tentang Andaryoko Wisnuprabu.
Sejarawan yang akrab disapa Romo Baskara itu yakin bahwa Andaryoko yang kini berusia 88 tahun tersebut adalah shodanco
Supriyadi. Sejarawan lulusan Marquette University, Wisconsin, AS,
tersebut juga mengaku bahwa pengakuan Andaryoko adalah hal yang sangat
penting bagi penulisan sejarah Indonesia.
''Benar atau tidak bahwa dia adalah Supriyadi, apa yang disampaikan Andaryoko tetap penting,'' katanya kepada Radar Jogja (Grup Jawa Pos) kemarin (13/8).
Sebagai
sejarawan, Romo Baskara memang tidak boleh percaya 100 persen bahwa
Andaryoko adalah Supriyadi yang memimpin pemberontakan Peta (Pembela
Tanah Air) di Blitar pada 1945. ''Untuk percaya 100 persen, harus ada
fakta keras (hard fact) yang benar-benar faktual,'' tegasnya.
Karena
itu, sejumlah verifikasi pun dilakukan Baskara. Langkah itu dilakukan
untuk menguatkan serta meyakinkan dirinya bahwa Andaryoko Wisnuprabu
punya kaitan dengan sejarah Peta maupun sejarah Indonesia.
Misalnya,
Andaryoko punya samurai di rumahnya, punya foto-foto masa lalu, dan
bisa berbahasa Jepang. ''Sering istilah Jepang yang dia pakai dan saya
tulis salah dalam draf langsung dia koreksi,'' cerita sejarawan yang
menawarkan sejarah lisan (life history) itu.
Baskara juga
mengecek data dengan Mayjen Khaerul Fathullah. Orang itu memberikan
penegasan lewat surat bermeterai bahwa Andaryoko adalah Supriyadi,
yaitu orang yang memimpin pemberontakan Peta di Blitar, 14 Februari
1945.
Fakta makin kuat bahwa Andaryoko adalah Supriyadi
ditunjukkan Andaryoko saat bertamu ke rumah Baskara di Jogja.
Dikatakan, 1 Juli 2008, Andaryoko ke Jogja. Dia lupa bercerita satu hal
kepada Baskara yang memang sedang menyusun buku Mencari Supriyadi.
''Nah, saat mampir ke rumah saya itu, dia bicara dengan seorang pastor
Belanda di rumah saya dengan bahasa Belanda,'' tegasnya.
Pastor
itu berusia 90 tahun atau selisih dua tahun dari Andaryoko yang
kelahiran 23 Maret 1920. Faktor bahasa tersebut -terutama Jepang dan
Belanda- tidak dikuasai oleh ''mereka'' yang selama ini mengaku sebagai
Supriyadi. Dalam sejarah dituliskan Supriyadi pernah bersekolah di MULO
di Kota Magelang, Jawa Tengah.
Menurut Andaryoko, di Magelang, Supriyadi tidak bersekolah di MULO, tapi MOSVIA (Middelbare Opleidingschool voor Indische Ambtenaren), sehingga dia bisa berbahasa Belanda.
Baskara
juga mengaku bahwa Supriyadi adalah nama kecil Andaryoko Wisnuprabu.
Dia biasa dipanggil Sup atau Mas Pri. Hanya, ketika pada Mei-Juni 1945
bertemu Wakil Residen Semarang Wongsonegoro dan ditugaskan bekerja di
Keresidenan Semarang, dia diminta berganti nama. Wongsonegoro bersedia
menerima, asalkan nama Supriyadi diganti. Alasannya, kalau tidak
diganti, Wongsonegoro-lah yang akan mendapat kesulitan dari pihak
Jepang karena menerima seorang pemberontak.
''Supriyadi pun
mengganti namanya dengan Andaryoko Wisnuprabu itu. Juga, memelihara
kumis. Tapi, kalau ke Jakarta dan bertemu Bung Karno, dia tetap
Supriyadi dan biasa dipanggil Sup,'' ungkap Baskara.
Baskara
''mendapatkan'' Andaryoko secara kebetulan lewat Anton Wahyu, manajer
Toko Buku Gramedia di Semarang, akhir Mei 2008. Manajer toko itu
menjadi wakil ketua panitia pentas ketoprak kolosal Putri China
karya Romo Sindhunata. Saat bertemu tokoh-tokoh budaya Semarang, dia
diminta menemui sesepuh mereka yang disebut sebagai Eyang Andar. Eyang
Endar itu ketua umum Perkumpulan Kesenian Sobokarti.
Saat ketemu itulah terungkap penuturan sejarah yang detail seputar sodancho
Supriyadi. Diceritakan bahwa Supriyadi itu masih hidup dan berkiprah
aktif di tengah masyarakat. Mendapat penuturan semacam itu, sang
manajer toko menghubungi Baskara yang memang menaruh perhatian pada
sejarah Indonesia periode 1945 -sampai saat ini.
Mulailah
Baskara melakukan wawancara dan verifikasi terhadap Andaryoko.
Termasuk, mengajak ke tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat
persinggahan Supriyadi sewaktu berjuang dulu.
Meski yakin
penuturan Andaryoko jujur dan benar, Baskara menegaskan bahwa dirinya
tidak berpretensi untuk mengklaim bahwa Andaryoko itulah Supriyadi.
Karena itu, dia menegaskan bahwa buku yang ditulisnya diberi judul Mencari Supriyadi, bukan Ini Dia Supriyadi.
''Saya
juga wawancarai semua pelaku sejarah, termasuk yang mengaku diri
sebagai Supriyadi. Silakan saja dicemati,'' ujar Romo yang pernah
mengajar di Xavier High School di Mikronesia, Kepulauan Pasifik,
tersebut.
Tugas dirinya sebagai sejarawan, kata dia, hanya ingin
mengingatkan bahwa sejarah jangan dimononaratifkan. Jangan ada monopoli
ide, monopoli narasi dalam sejarah.
''Kehadiran narasi Andaryoko
sebagai pelaku sejarah dan sebagai Supriyadi harus diletakkan dalam
kepentingan sebagai narasi sejarah yang melengkapi narasi-narasi
sejarah yang sudah ada. Biarkan masyarakat berpikir dan mencermati mana
narasi yang bisa dipercaya dan benar. Sejarah itu harus kaya
perspektif. Harus multinarasi,'' urainya.
Yang jelas, kata
Baskara, narasi yang disampaikan Andaryoko itu konsisten. Dia bisa
menunjukkan tempat-tempat di Blitar sebagai lokasi pemberontakan dulu.
Dia bisa menceritakan itu semua dengan komplet.
Baskara juga menegaskan bahwa Andaryoko itu berbeda dari orang-orang yang selama ini mengaku sebagai Supriyadi.
Setidaknya,
kata dia, ada tiga perbedaan jelas. Pertama, orang yang mengaku
Supriyadi selalu mengklaim sebagai tokoh mistis atau tokoh spiritual.
''Tapi, Andaryoko tidak. Dia rasional. Tidak mistis, bisa hilang dan
seterusnya,'' katanya.
Kedua, orang yang selama ini mengaku
sebagai Supriyadi selalu menempatkan dirinya sebagai pusat. Dia sakti
dan penting. Andaryoko tidak. ''Andaryoko hanya bagian kecil dari
sejarah Indonesia. Dia hanya orang yang punya ide besar tentang
Indonesia. Dan dia hanya ingin sejarah Indonesia diluruskan. Bahkan,
dia menegaskan, kalau ada yang mengaku Supriyadi, dipersilakan,''
ungkap Baskara.
Yang ketiga, karena orang yang mengaku Supriyadi
biasanya menjadikan dirinya sebagai pusat, menjadi sentral, pengetahuan
mereka pun hanya tentang lokalitas di mana dia berada. Andaryoko
berbeda. Dia bisa memberikan penjelasan arus dinamika sejarah Indonesia
secara baik. Dia bisa menunjukkan lokasi pemberontakan di Blitar dan
bisa menjelaskan saat bersama Bung Karno.
Bahwa fakta-fakta
sejarah Indonesia yang diceritakan Andaryoko berbeda dari fakta sejarah
formal yang telah ada selama ini, menurut Baskara, itu bukan sesuatu
hal yang harus dikontroversikan. Misalnya, fakta Supersemar di Istana
Bogor, penyusunan naskah Proklamasi, maupun pengerek bendera Merah
Putih saat kemerdekaan.(el)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar